Kamis, 05 Juli 2012

JIHAD Menjadi Fardhu ‘Ain.

            Fardhu ‘ain adalah jatuhnya hukum wajib bagi tiap-tiap individu yang telah Allah berikan beban hukum padanya.

Lalu kapan jihad itu berubah menjadi fardhu ‘Ain? Berikut adalah kondisi-kondisi yang menjadikan hukum jihad itu jatuh menjadi fardhu ‘Ain.

1. Jika Imam memerintahkan untuk berangkat berperang.

Jika seorang Imam atau pemimpin umat Islam memerintahakan penduduknya untuk berperang dan berjihad di suatu negri. Maka hukum jihad itu menjadi fardhuu ‘Ain bagi tiap-tiap penduduk negri tersebut. Akan tetapi jika Imam memerintahkan jihad dan pernag hanya pada suatu kelompok saja. Maka kewajiban untuk pergi berjihad menjadi fardhu ‘Ain hanya untuk kelompok yang diperintahkan untuk kelompok itu saja. Artinya fardhu ‘Ain itu jatuh tergantung bagi siapa yang ditentukan oleh Imam.

Pernyataan ini berdasarkan pada hadits-hadits nabi Muahammad saw.

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah: “Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah. (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad).

Makna Hadith ini adalah “Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah" Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan di dalam hadist tersebut mengandungkewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam.”

Dengan keterangan hadits shohih di atas maka jatuhnya fardhu ‘Ain dalam hukum jihad, jika seorang Imam memerintahkan untuk pergi ke medan jihad.

2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.

Yang kedua adalah jika pasukan muslim bertemu dengan pasukan kuffar. Maka hukum jihad pun menjadi fardhu ‘Ain bagi setiap kaum muslimin yang menyaksikan kejadian tersebut. Dan haram serta berdosa jika ada seorang muslim yang menyaksikan kejadian tersebut. sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfa ayat 15 :  

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).”

Berdasarkan keterangan ayat diataslah maka wajiblah bagi tiap-tiap muslim yang menyaksikan bertemunya dua pasukan (Islam dan kafir) untuk ikut terjun membantu pasukan muslim yang sedang bertempur. Dan inilah yan disebut dengan jatuhnya hukum JIHAD menjadi fardhu ‘Ain. Jika tidak dilakukan maka akan berdosa. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam ayat berikut :

“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, Maka Sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. dan Amat buruklah tempat kembalinya.” (Q.S Al-Anfal : 16).

Hal tersebut pun dijelaskan oleh Rasululloh dalam haditsnya. Rasulullah saw bersabda : “Jauhilah tujuh perkara yangmembinasakan, “Beliau saw ditanya: “Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau saw menjawab : (1) MempersekutukanAllah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anakyatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina).” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).

Dengan dalil di ataslah kondisi kedua ketika hukum jihad jatuh menjadi fardhu ‘Ain. Atau wajib bagi tiap-tiap muslim.

3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.

Dan keadaan fardhu ‘Ain yang ketiga, jatuh ketika musuh Islam menyerang negri muslim. Maka dengan begitu jatuhlah fardhu ‘Ain untuk kondisi ketiga ini. Hal ini berdasarkan keterang Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 190 :

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S Al-Baqarah : 190).

Dengan ketarangan ayat di ataslah yang menjadi alasan bahwa setiap negri yang mengalami penyerangan oleh kaum kafir. Maka waib bagi setiap penduduk yang tinggal di negri itu untuk memerangi orang kafir. Wajib bagi tiap-tiap jiwa untuk ikut berjuang dan berjihad mengusir musuh kafir tersebut. Maka jatuhlah fardhu ‘Ain untuk hukum jihad dalam kondisi seperti ini. Dan keadaan itu terus berlangsung sampai orang-orang aggressor kafir itu pergi dari negeri kaum muslimin.

Bahkan kewajibannya untuk berjihad bagi kaum muslim pada kondisi tersebut bukan hanya untuk kaum laki-laki dan yang mempunyai kekuatan saja. Jika musuh sudah masuk ke wilayah kekuasan atau negri Islam maka kewajibannya menjadi bagi seluruh jiwa baik yang berkemampuan atau pun yang tidak berkemampuan untuk berjihad. Sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Quran surat At-Tawbah 41 :
 “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S At-Tawbah : 41).

Ayat ini pun dijelaskan oleh Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi). Beliau  berkata : “Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hambasahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.”

Kemuadian Ar-Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) menambahkan pendapatnya untuk menguatkan pendapat Ad-Dasuki. Beliau mengatakan : “Maka jika musuh telah masuk ke dalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang dari pada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hambasahaya dan perempuan.”

Begitulah kondisi ketiga ketika hukum jihad berubah menjadi fardhu ‘Ain.

4. Ketika Ada Negeri Kaum Muslimin yang Diserang oleh Musuh dan Meminta Pertolongan.

Kondisi ini seperti ini menjadikan wajib bagi tiap-tiap jiwa di seluruh dunia untuk terjun menolong negri saudaranya yang sedang di serang oleh musuh tersebut. Jatuhnya hukum Fardu Khifayah dalam masalah jihad ini jika keadaan di negri yang diserang oleh kaum kufar itu tidak memilki kemapuan untuk melawan dan mengusirnya. Maka kewajibannya pun sama seperti mempertahankan jiwa raga diri sendiri. hal ini berdasarkan keterangan surat Al-Quran surat Al-Hujurat Ayat 10 :
   
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat : 10).

Berdasakan ayat inilah maka wajib bagi setiap muslim untuk membantu membebaskan saudaranya yang sedang terjajah dan terdzolimi oleh penyerangan orang-orang kafir. Rasululloh saw pun menyabdakan untuk menekankan kaum muslimin agar segera menolong saudaranya yang sedang terdzolmi agar kembali terjaga jiwa, raga, harta, benda, dan darahnya.

Dari Nu’man Bin Basyir, bahwasnnya rasululloh pernah bersabda : “Orang-orang beriman ibarat satu jasad, jika bagian kepala mengaduh, seluruh badan akan menderita tidak bisa tidur dan deman.(HR. Muslim).

Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan : “...Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa saja yang tinggal di wilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada dis ana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.”

Berdasarkan dalil-dalil di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, membela saudara kita yang sedang terdzalimi itu wajib hukum. Maka ketika ada negri saudara kita yang di porakporandakan diserang oleh aggressor penjajah kafir maka kita wajib menolongnya. Dan keadaan seperti itulah yang menjatuhkan hukum jihad menjadi fardhu ‘Ain bagi seluruh muslim di dunia sampai si penjajah itu bisa terusir dari negri kaum muslimin.

Rabu, 27 Juni 2012

Kapan JIHAD Menjadi FARDHU KIFAYAH?

Ya, kapan jihad itu menjadi fardhu kifayah hukumnya? Tapi sebelum kita masuk pada pembahasan, kita harus memahami dulu apa yang dimaksud dengan fardhu kifayah.

Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan fardhu kifayah yaitu kewajiban yang akan gugur ketika sudah ada muslim yang lain yang telah menunaikannya. Namun jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam di dunia ini menanggung dosanya.

Jadi yang dimaksud dengan hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimindalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung- jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.

Lalu kapan hukum jihad itu jatuh menjadi hukum Fardhu kifayah? Para jumhur ulama berpendapat dengan menyatakan ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 95 :
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk ndengan pahala yang besar,”  (Q.S An-Nisa : 95).

Pendapat para ulama ayat di atas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk dan tidak ikut berjihad, maka tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. Ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah cukup sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum cukup maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
                                                                                 
Kemudian para ulama kembali berpendapat untuk menjelaskan ayat di atas. Mereka mengemukan keterangan yang tertadapat pada surat Al-Fath ayat 17 : 

“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (Q.S AL-Fath : 17).

Berdasarkan keterangan ayat-ayat di ataslah para ulama mengelompokan jihad itu masuk kepada fardu kifayah. Dan selain ayat di atas yang telah disebutkan masih banyak lagi ayat-ayat lainya yang menjadi alasan para ulama menggolongkan jihad menjadi fardhu kifayah.

Akan tetapi fardu kifayah ini juga tetap bersyarat dan tidak mesti menjadi fardhu kifayah selamanya. Adapun beberapa syarat yang dikemukan seperti, sudah cukupnya pasukan yang berada di medan tempur, Negara Islam sedang dalam keadaan aman, dan tidak ada Negara kaum muslim yang sedang terjajah.

Dan pendapat para Imam dan para ulama pun bermacam-macam tetang kapan hukum jihad iru menjadi fardhu kifayah. Rata-rata mereka mengatakan syaratnya adalah kaum muslimin sudah mempunyai DAULAH atau Negara Islam sendiri. Seperti yang dikatan oleh Ibnu Qudamah mengatakan: “Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan.”

Sementara munurut Imam Syafi’I berlainan. Syaratnya memang sama, kita mesti sudah memilki Negara yang berhukum pada hukum Islam. Lalu beliua pun mengatakan : “Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun.” Dengan menjalankan syarat-syarat tersebut maka jihad pada saat itu jatuh pada hukum fardhu kifayah. Dan jika syarat itu tidak dilaksanakan maka hukum fardhu kifayahnya gugur.

Pendapat Imam Syafi’i ini diperkuat oleh perkataan Imam Al-Qurtuby. Menurut beliau : “Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dinullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah.”

Pendapat yang saling menguatkan diantara para imam ini membuat kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jihad pada suatu waktu bisa menjadi fardu kiffaya. Dengan syarat dan ketentuan yang telah diungkapakan oleh para Imam terkemuka di atas. Seperti sudah mempunyai daulah sendiri, sudah menegakan hukum Allah, tidak ada negri yang sedang terindas, sudah cukupnya pasukan di medan pertempuran dan yang terakhir tentunya sudah melakukan pengiriman pasukan untuk menyebarkan dakwah Islam untuk menyeru mereka agar tunduk pada hukum Allah.

Jika syarat-syarat di atas sebagaimana yang telah disebutkan oleh para Imam terkemuka tadi tidak mampu dilaksnakan atau gagal dijalankan. Maka hukum jihad pun berubah tidak lagi menjadi fardhu kifayah. Akan tetapi telah jatuh menjadi fardhu ‘ain.

Minggu, 24 Juni 2012

HUKUM MELAKSANAKAN JIHAD

Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah yang telah meciptakan tujuh lapis bumi dan tujuh lapis bumi. Milik-Nyalah segala yang ada di dalamnya dan segala yang ada di antara keduanya. Tiada kekuatan yang mampu menguasai makhluknya selain kekuatannya. Dan tiadalah daya serta upaya bagi para hambanya untuk melawan dan mendurhakai-Nya.

Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan untuk Nabi Muhammad saw. Nabi akhirul zaman yang telah mebawa kita umatnya dari jaman kegelapan hingga jaman yang penuh dengan cahaya kenikmatan dan rahmat. Berkat kegigihan dan semangat perjuangan dakwah dan jihadnya, hingga beliau mampu menyebarkan rahmat Allah hingga menembus seluruh dunia, atas idzin Allah tabbaroka watta’alaa. Semoga kita mampu meneladani beliau dalam setiap gerak langkah dan tingkah polah kita.

Puji syukur kita senataisa kita limpahkan selalu kepada Allah swt. Lagi-lagi berkat kekuatannya yang diamanahkan pada kita semua, alhamdulillah hingga kita mampu masuk lebih jauh ke dalam permasalah jihad ini. Dan sekali lagi, jika bukan karena rahmat Allah hal ini tidak akan mungkin bisa terjadi.

Dalam pembahsan dalam bab ini kita akan membahas hukum-hukum jihad dalam tinjauan fiqih. Agar kita tahu duduk permasalahan dalam prihal jihad ini. karena permasalhan ini sangat sensitive dan sangat riskan untuk menilai sendiri. Karena hukum buknlah berasal dari prasangka dan penilaian kita. Akan tetapi hukum jatuh sesuai syariatnya. Maka rasanya perlu untuk membahas dan menjelaskannya.

Lalu jika permasalahan hukum jihad itu selsai dipaparkan. Setelah itu akan dibahas  tujuan dari dilakukannya pergerakan jihad fie sabilillah. Untuk apa dan untuk siapa kita berjihad berperang dijalan Allah. Maka nanti akan dibahas secara tuntas dalam pembahasan subbab yang kedua. Semoga Allah selalu memberi kemudahan pada kita semua.

1. Hukum Jihad.

Telah kita sama-sama kita ketahui bahawa hukum jihad jatuh pada hukum wajib atau dalam istilah hukumya adalah fardhu. Hal itu berdasarkan dalil-dalil yang bersumber pada Al-Quran dan hadits. Seperti contoh ayat berikut ini :

“Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Q.S AL-Baqarah : 244).

Dalam ayat di atas perintah perang langsung menggunakan kaliamat berperanglah. Yaitu suatu penekanan dan suatu keharusan. Dan masih banyak lagi ayat-ayat perintah yang langsung menggunakan kalimat berperanglah seperti halnya ayat di atas. Namun, kita ambil satu permisalan satu saja.

Atau pada ayat yang lainnya yang juga bermakna perang akan tetapi menggunakan kalimat berjihadlah. Seperti pada ayat Al-Quran yang terdapat pada surat At-Tawbah ayat 41 :

“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S At-Tawbah : 41).

Dalam kedua contoh ayat yang kita ambil di atas baik itu perintah JIHAD dengan menggunakan kalimat BERPERANGLAH ataupun yang menggunakan kalimat BERJIHADLAH. Kedua-duanya sama menggunakan kalimat fiil amr. Atau kalimat perintah. Dan menurut dalil ushul adalah al-Ashlu fil amri lil wujub artinya asal dalam kaliamat perintah (fiil amr) adalah menunjukan untuk wajib.

Maka dengan dalil ushul tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa hukum jihad adalah WAJIB hukumnya atau FARDHU. Karena kalimat-kalimat perintah jihad dalam Al-Quran menggunakan kalimat fiil amr. Maka dengan begitu maka wajiblah hukum jihad bagi kita semua.

Atau jika ingin ayat yang lebih jelas lagi kita bisa melihat dalam keterangan surat Al-Baqarah ayat 214 :
  
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah : 216).

Kalimat ayat di atas bunyi sama dengan bunyi ayat yang memerintahkan wajibnya shaum di bulan Ramdhan bagi kaum mu’minin. Marilah kita perhatikan perintah wajibnya shaum, yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 :
 
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S Al-Baqarah :183).

 Subahanallah, betapa sama kalimat dua perintah ini. Kalimat untuk wajibnya shaum menggunakan kalimat ketiba ‘alaikumum shiam. Dan kalimat untuk wajibanya jihad menggunakan kalimat kutiba ‘alaikumul qital. Kalimatnya sungguhnya hanya beda objek saja. Yang satu shiam dan yang satu lagi qital. Lalu mengapa kita membeda-bedakan dalam menjalankan?

Namun, permasalah muncul setelah ditetapkannya hukum jihad itu waajibun ‘alal qulli mukallafin (wajib bagi tiap-tiap mukallaf). Di mana letak permasalahnnnya? Permaslahannnya muncul dalam pandangan para ulama dalam menyikapinya.

Ya, memang semua ulama pada dasarnya sepkat pada satu kata. Mereka menyatakan bahwa hukum jihad adalah wajib atau fardhu. Akan tetapi permasalahnnnya muncul atas mengkondiskannya. Jika dilihat dari sisi kondisi dan keadaan umat Islam. maka para ulama membaginya kepada dua hal. Pertama JIHAD itu menjadi Fardhu Kifayah dan yang kedua JIHAD menjadi FARDHU ‘AIn Hukumnya.

Lalu kapan jihad itu jatuh pada FARDHU KIFAYAH dan kappa pula JIHAD itu jatuh pada hukum FARDHU ‘AIN? Mungkin pertanyaan itulah yang terbesit dalam benak kita semua.

Rabu, 25 April 2012

Pembagian Jihad dari Jenisnya.


          Sebagai pembahasan akhir dalam bab ini kita akan mengulas tetang pembagian jenis jihad yang ada. Meski sesungguhanya kita sudah sama-sama ketahui nama-nama dan jenisnya dari pembahasan yang telah dibahas sebelumnya.

Pada pembahasan prihal fase-fase  jihad, sesungguhnya pembagian jihad pun telah ikut terbahas dengan sendiri. Namun saya memandang perlu untuk kembali memperjelas dalam menerangkan hal-hal yang mesti kita lakukan dalam dua jenis jihad ini.

Jihad menurut jenisnya terbagi kedalam dua macam. Seperti yang sudah kita bahas tadi bahwa jihad itu ada dua macam. Yaitu jihad difa’ yang artinya jihad mempertahakan diri. Dan satu lagi jihad tholabiy yang artinya jihad menyerang kehadapan musuh.

a. Jihad Difa’ (Bertahan)

Sepeti yang telah sama-sama kita ketahui bahwa jihad ini adalah berjihad dengan bertahan. Yaitu kita melawan pada saat menyerang kita seperti dalam firman Allah :

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Baqoroh : 190).

Jihad jenis ini boleh kita lakukan kitika memang benar-benar dalam keadaan lemah. Kita tidak memiliki pasukan tempur dan kita tidak mempunyai cukup perlengkapan perang untuk menggempur musuh-musuh Islam yang hina.

Atau yang kedua jika kita memang berada dalam genggaman penguasa dzalim atas taqdir Allah. Dan pada saat kita memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan untuk bertindak. Maka berlakulah jihad difa’ ini di negri kita sendiri. Sampai saat kita memang telah benar-benar siap untuk menyerang dan menegakn hukum Allah sebagai dienulhaq.

Dalam keadaan jihad sepeti ini pun kita tidak diperkenankan untuk selalu berdiam diri saja. Akan tetapi Allah memerintahkan kepad kita untuk ‘idaad atau melakukan persiapan. Persiapan untuk segera melaksankan jihad menyerang dan menegakan kalimatullah.

Sebagaimana telah Allah firmankan dalam surat Al-Anfal ayat 60 : 
 
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S Al-Anfaal : 60).

Ya, lakukanlah persiapan dalam segala bentuk dan hal yang kita mampu untuk mepersiapkannya. Baik itu berupa fisik, fakir, logistic, strategi, generasi penerus, atau pun diplomasi. Semuanya harus kita lakukan sebelum menjemput panggila jihad meneyarang musuh dengan segenap kekuatan yang telah kita gengam. Hingga jika pada saat telah tiba kita keluar menyerang para musuh Allah dan menegakan hukum Allah sebagai satu-satunya hukum yang digunakan manusia di bumi ini.

Dan jika kita tidak melakukan itu maka kita termasuk oran-orang yang berdosa. Karena kita telah melalaikan perintah Allah dan melalaikan kewajiban kita dalam berjihad.

b. Jihad Tholabiy (Menyerang)

Melanjutakan pembahasan yang sudah sangat jelas di atas bahwa jihad tholabiy atau meneyarang musuh dilakukan saat kita tlah siap dengan segenap kekuatan. Jihad ini telah dimulai dengan turunnya surat At-tawbah ayat 29 dan taka berakhir hingga hari kiamat menjelang. Atau jiak memang seluaruh dunia telah tunduk pada aturan Islam.

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (Q.S At-tawbah : 29).

Setalah turunnya ayat itulah kewajiban kita untuk berperang melawan orang-orang yang Allag sebutkan dalam ayat tersebut. Kewajiban terus melekat sampai mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah, menajadi berhuku dengan hukum Allah. Kewajiban itu akan terus terbebankan kepada kita sampai mereka tunduk dan patuh pada peraturan Allah.

  Sebagai mana firman Allah :

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Baqoroh : 193).

Kita wajib berangkat baik itu dalam keadaan riangan atau pun berat. Karana hal ini tela menajdi kewajiban dari Allah yang dibebankan kepada kita sebagai hambanya. Sebagaimana Allah firmankan dalam surat At-Tawbah ayat 41 :

“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S At-tawbah : 41).

Begitulah hukum yang sudah menajdi satu ketetapan Allah. Maka jika kita mengaku sebagai orang beriman kita wajib menjalankannya. Tiada lagi pilihan bagi kita utuk meminta kerinagan dan meminta izin. Sebab sifat itu tidak panatas dalam jiwa-jiwa orang beriman. Sebagaimana Allah frimankan dalam surat Al-Ahzab ayat 36 :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S Al-Ahzab : 36).

Minggu, 15 April 2012

Fase Ke Empat : Perintah Memerangi Seluruh Orang Kafir Secara Mutlaq.


Fase inilah yang disebut fase terkahir dalam pergerakan JIHAD Islam. Ketika fase ini umat Islam menyatakan perang terhadap semua orang kafir. Tidak lagi memandang dia menyerang negri Islam atau tidak. Dan tidak memandang suku bangsa, ras, dan keluarga. Semua orang-orang kafir wajib diperangi hingga mereka mau tunduk dan memeluk Islam. Atau jika mereka enggan beriman kepada Allah maka mereka wajib membayar jizyah sebagai tanda tunduk dan memohon perlindungan. Maka jika mereka telah membayar jizyah maka terjalah jiwa, raga, darah dan harta mereka.

Fase kempat ini terjadi setelah terjadi futh Mekkah. Atau setelah kaum muslimin mendapat kemenangan yang besar. Berhasil merebut kembali kampung halamannya. Bisa kembali lagi ke kampung halaman mereka setelah sekaian lama mereka tertindas, terdzalimi dan terusir. Kejadian ini terjadi sekita tahun ke 8 hijriyah.



Kisah awal mulanya fase keempat ini datang adalah  setelah terjadi futh Mekkah. Rasululloh melakukan peperangan Tabuk. Dan Sekembalinya dari Perang Tabuk tahun 9 Hijriah, Rasulullah ingin melakukan ibadah haji, tetapi orang-orang musyrik masih melakukan thawaf dengan telanjang. Karenanya, Rasulullah tidak mau menjalankan haji, sampai tradisi orang musyrik itu dihapuskan. Untuk itu, beliau mengutus Abu Bakar r.a. memimpin haji dan menyampaikan maklumat terhadap orang musyrik agar tidak melakukan haji setelah tahun itu dan memberi tempo selama 4 bulan agar masuk Islam, setelah itu tidak ada pilihan, kecuali perang.

Sebagaimana seperti yang tertera dengan jelas dalam surat At-Tawbah ayat ke 5 berikut :

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Tawbah : 5).

Kemudian keterangnan ayat di atas dipertegas kembali dengan turunnya ayat-ayat selanjutnya pada surat At-tawbah ini. Yaitu dengan turunnya ayat ke 28 dan 29 :

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[634], Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[635] sesudah tahun ini[636]. dan jika kamu khawatir menjadi miskin[637], Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (Q.S At-tawbah : 28-29).

 Dengan turunnya ayat ini menandakan bahwa fase baru telah dimulai dan inilah fase final dalam syariat Islam dalam masalah jihad. Yaitu jihad bermakna memerangi semua kaum kafir yang enggan beriman kepada Allah. Ibnu Qoyyim berkata, “Ketika diturunkan surah Bara’ah (At-Taubah), Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk memerangi musuh-Nya dari ahli kitab sampai mereka membayar jizyah atau masuk Islam. Kronologi di atas disebutkan oleh ulama-ulama seluruh mazhab dalam kitab-kitabnya.

Inilah fase terakhir dari perjalanan panjang syariat Jihad. Dan kita sebagai muslim haruslah menerima dengan penuh keiklasan perintah ini. perintah Allah untuk  memerangi orang kafir sampai mereka beriman kepada Allah. Sebagaimana Allah perintahkan dalam surat Al-Baqorah ayat 193 :

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Baqarah : 193).

Periode keempat sekaligus sebagai tahapan akhir syariat jihad dalam Alquran. Substansi dari syariat tersebut adalah memerangi orang musyrik termasuk ahlul kitab sampai mereka menerima Islam atau membayar jizyah. Sebagian penulis menyebut periode ini sebagai jihad thalaby (ofensif).

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah kecuali hanya Allah, dan Aku utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat. Jika mereka melakukannya maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam, sedang hisabnya terserah Allah Ta’ala.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ditetapkannya jihad thalaby (ofensif) sebagai hukum niha’i (final) dalam jihad tidak diperselisihkan oleh para ulama. Perbedaan hanya terjadi pada apakah ayat terakhir menghapus (naskh) ayat-ayat sebelumnya?

Sebagaian besar ulama salaf menyatakan bahwa dengan diturunkannya QS At-Taubah, berarti menghapus syariat jihad pada ayat-ayat sebelumnya, seperti perkataan Ibnul Araby, “Firman Allah, ‘Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu?’ (At-Taubah: 5), sebagai penghapus 114 ayat sebelumnya.” (Ahkamul Quran). Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Dhahhak, Rubai’ bin Anas, Mujahid, Abul Aliyah, Husain bin Fadhl, Ibnu Zaid, Musa bin Uqbah, Ibnu Abbas, Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ibnul Jauzi, Atha’, Ibnu Taimiyah, Qurtuby, dan lain-lain.

Imam Zarkasyi tidak setuju dengan istilah ayat-ayat jihad sebelum QS At-Taubah dihapuskan. Menurutnya, nilai dari ayat-ayat sebelumnya tetap relevan untuk diterapkan dalam konteks yang serupa dengan kondisi Rasululllah saat menerima wahyu tersebut. (Lihat Az-Zarkasyi, Al-Burhan fie Ulumil Qur’an, h. 845–894).

Perbedaan di atas bukan perbedaan substansial, melainkan perbedaan istilah. Dalam hal ini, istilah naskh (hapus) berkonotasi kuat menghapuskan ayat-ayat sebelumnya. Padahal, baik yang setuju dengan istilah naskh dalam ayat tersebut maupun yang tidak setuju sama-sama memahami bahwa ayat-ayat jihad sebelumnya tetap berlaku pada konteks (illah) yang sama.

Komentar Sayyid Qutb cukup menarik sebagai tarjih atas polemik yang ada, “Setelah turunnya surah At-Taubah, hukum-hukum dalam fase-fase sebelumnya tidak mansukh (terhapus) dalam pengertian tidak boleh diamalkan dalam kondisi apa pun pada setiap realitas umat. Gerakan dan realita yang dihadapinya dalam beragamnya situasi, waktu, dan tempatlah yang menentukan–untuk sebuah ijtihad mutlak. Artinya, hukum-hukum itu lebih pas diambil (dengan mempertimbangkan) sebuah kondisi, masa, dan tempat tertentu, dengan tetap melihat hukum akhir yang wajib ditunaikan….”(Fie Dhilalil Qur’an, h. 1580).

Jadi setelah fase keempat ini dan turunya surat At-Tawbah ayat 29 tadi maka hukum jihad bagi kita adalah wajib. Baik itu kita diserang ataupun kita tidak diserang. Selama masih banyak manusia yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mau tunduk kepada Allah, maka selama itu pula kewajiban jihad itu melakat pada diri kita. Kewajibannya yang sama sepeti wajibnya sholat, shau, zakat dan ibada haji.

Dan berdosalah kita ketika kita tidak menunaikannya. Karena tidak ada ayat aaupun satu dalil pun yang melemahakan hukum dan perintah ini. Lalu apa lagi yang kita tunggu untuk tidak berjihad di jalan Allah.
Fase Ke Empat : Perintah Memerangi Seluruh Orang Kafir Secara Mutlaq. 

Fase inilah yang disebut fase terkahir dalam pergerakan JIHAD Islam. Ketika fase ini umat Islam menyatakan perang terhadap semua orang kafir. Tidak lagi memandang dia menyerang negri Islam atau tidak. Dan tidak memandang suku bangsa, ras, dan keluarga. Semua orang-orang kafir wajib diperangi hingga mereka mau tunduk dan memeluk Islam. Atau jika mereka enggan beriman kepada Allah maka mereka wajib membayar jizyah sebagai tanda tunduk dan memohon perlindungan. Maka jika mereka telah membayar jizyah maka terjalah jiwa, raga, darah dan harta mereka.

Fase kempat ini terjadi setelah terjadi futh Mekkah. Atau setelah kaum muslimin mendapat kemenangan yang besar. Berhasil merebut kembali kampung halamannya. Bisa kembali lagi ke kampung halaman mereka setelah sekaian lama mereka tertindas, terdzalimi dan terusir. Kejadian ini terjadi sekita tahun ke 8 hijriyah.

Kisah awal mulanya fase keempat ini datang adalah  setelah terjadi futh Mekkah. Rasululloh melakukan peperangan Tabuk. Dan Sekembalinya dari Perang Tabuk tahun 9 Hijriah, Rasulullah ingin melakukan ibadah haji, tetapi orang-orang musyrik masih melakukan thawaf dengan telanjang. Karenanya, Rasulullah tidak mau menjalankan haji, sampai tradisi orang musyrik itu dihapuskan. Untuk itu, beliau mengutus Abu Bakar r.a. memimpin haji dan menyampaikan maklumat terhadap orang musyrik agar tidak melakukan haji setelah tahun itu dan memberi tempo selama 4 bulan agar masuk Islam, setelah itu tidak ada pilihan, kecuali perang.

Sebagaimana seperti yang tertera dengan jelas dalam surat At-Tawbah ayat ke 5 berikut :
  
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Tawbah : 5).

Kemudian keterangnan ayat di atas dipertegas kembali dengan turunnya ayat-ayat selanjutnya pada surat At-tawbah ini. Yaitu dengan turunnya ayat ke 28 dan 29 :

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[634], Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[635] sesudah tahun ini[636]. dan jika kamu khawatir menjadi miskin[637], Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (Q.S At-tawbah : 28-29).

 Dengan turunnya ayat ini menandakan bahwa fase baru telah dimulai dan inilah fase final dalam syariat Islam dalam masalah jihad. Yaitu jihad bermakna memerangi semua kaum kafir yang enggan beriman kepada Allah. Ibnu Qoyyim berkata, “Ketika diturunkan surah Bara’ah (At-Taubah), Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk memerangi musuh-Nya dari ahli kitab sampai mereka membayar jizyah atau masuk Islam. Kronologi di atas disebutkan oleh ulama-ulama seluruh mazhab dalam kitab-kitabnya.

Inilah fase terakhir dari perjalanan panjang syariat Jihad. Dan kita sebagai muslim haruslah menerima dengan penuh keiklasan perintah ini. perintah Allah untuk  memerangi orang kafir sampai mereka beriman kepada Allah. Sebagaimana Allah perintahkan dalam surat Al-Baqorah ayat 193 :

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Baqarah : 193).

Periode keempat sekaligus sebagai tahapan akhir syariat jihad dalam Alquran. Substansi dari syariat tersebut adalah memerangi orang musyrik termasuk ahlul kitab sampai mereka menerima Islam atau membayar jizyah. Sebagian penulis menyebut periode ini sebagai jihad thalaby (ofensif).

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah kecuali hanya Allah, dan Aku utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat. Jika mereka melakukannya maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam, sedang hisabnya terserah Allah Ta’ala.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ditetapkannya jihad thalaby (ofensif) sebagai hukum niha’i (final) dalam jihad tidak diperselisihkan oleh para ulama. Perbedaan hanya terjadi pada apakah ayat terakhir menghapus (naskh) ayat-ayat sebelumnya?

Sebagaian besar ulama salaf menyatakan bahwa dengan diturunkannya QS At-Taubah, berarti menghapus syariat jihad pada ayat-ayat sebelumnya, seperti perkataan Ibnul Araby, “Firman Allah, ‘Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu?’ (At-Taubah: 5), sebagai penghapus 114 ayat sebelumnya.” (Ahkamul Quran). Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Dhahhak, Rubai’ bin Anas, Mujahid, Abul Aliyah, Husain bin Fadhl, Ibnu Zaid, Musa bin Uqbah, Ibnu Abbas, Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ibnul Jauzi, Atha’, Ibnu Taimiyah, Qurtuby, dan lain-lain.

Imam Zarkasyi tidak setuju dengan istilah ayat-ayat jihad sebelum QS At-Taubah dihapuskan. Menurutnya, nilai dari ayat-ayat sebelumnya tetap relevan untuk diterapkan dalam konteks yang serupa dengan kondisi Rasululllah saat menerima wahyu tersebut. (Lihat Az-Zarkasyi, Al-Burhan fie Ulumil Qur’an, h. 845–894).

Perbedaan di atas bukan perbedaan substansial, melainkan perbedaan istilah. Dalam hal ini, istilah naskh (hapus) berkonotasi kuat menghapuskan ayat-ayat sebelumnya. Padahal, baik yang setuju dengan istilah naskh dalam ayat tersebut maupun yang tidak setuju sama-sama memahami bahwa ayat-ayat jihad sebelumnya tetap berlaku pada konteks (illah) yang sama.

Komentar Sayyid Qutb cukup menarik sebagai tarjih atas polemik yang ada, “Setelah turunnya surah At-Taubah, hukum-hukum dalam fase-fase sebelumnya tidak mansukh (terhapus) dalam pengertian tidak boleh diamalkan dalam kondisi apa pun pada setiap realitas umat. Gerakan dan realita yang dihadapinya dalam beragamnya situasi, waktu, dan tempatlah yang menentukan–untuk sebuah ijtihad mutlak. Artinya, hukum-hukum itu lebih pas diambil (dengan mempertimbangkan) sebuah kondisi, masa, dan tempat tertentu, dengan tetap melihat hukum akhir yang wajib ditunaikan….”(Fie Dhilalil Qur’an, h. 1580).

Jadi setelah fase keempat ini dan turunya surat At-Tawbah ayat 29 tadi maka hukum jihad bagi kita adalah wajib. Baik itu kita diserang ataupun kita tidak diserang. Selama masih banyak manusia yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mau tunduk kepada Allah, maka selama itu pula kewajiban jihad itu melakat pada diri kita. Kewajibannya yang sama sepeti wajibnya sholat, shau, zakat dan ibada haji.

Dan berdosalah kita ketika kita tidak menunaikannya. Karena tidak ada ayat aaupun satu dalil pun yang melemahakan hukum dan perintah ini. Lalu apa lagi yang kita tunggu untuk tidak berjihad di jalan Allah.