Ya, kapan jihad itu menjadi fardhu kifayah hukumnya? Tapi
sebelum kita masuk pada pembahasan, kita harus memahami dulu apa yang dimaksud
dengan fardhu kifayah.
Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan fardhu kifayah
yaitu kewajiban yang akan gugur ketika sudah ada muslim yang lain yang telah
menunaikannya. Namun jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka
seluruh umat Islam di dunia ini menanggung dosanya.
Jadi yang dimaksud dengan hukum Jihad fardu kifayah
menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di
negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum
muslimindalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-
jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin.
Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap
dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
Lalu kapan hukum jihad itu jatuh menjadi hukum Fardhu
kifayah? Para jumhur ulama berpendapat dengan menyatakan ayat Al-Quran surat
An-Nisa ayat 95 :
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut
berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk ndengan pahala
yang besar,” (Q.S An-Nisa : 95).
Pendapat para ulama ayat di atas menunjukan bahwa Jihad
adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk dan tidak ikut berjihad, maka tidak
berdosa sementara yang lain sedang berjihad. Ketetapan ini demikian adanya jika
orang yang melaksanakan jihad sudah cukup sedangkan jika yang melaksanakan jihad
belum cukup maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
Kemudian para ulama kembali berpendapat untuk menjelaskan
ayat di atas. Mereka mengemukan keterangan yang tertadapat pada surat Al-Fath
ayat 17 :
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang
pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan
Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang
siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (Q.S AL-Fath : 17).
Berdasarkan keterangan ayat-ayat di ataslah para ulama
mengelompokan jihad itu masuk kepada fardu kifayah. Dan selain ayat di atas
yang telah disebutkan masih banyak lagi ayat-ayat lainya yang menjadi alasan
para ulama menggolongkan jihad menjadi fardhu kifayah.
Akan tetapi fardu kifayah ini juga tetap bersyarat dan
tidak mesti menjadi fardhu kifayah selamanya. Adapun beberapa syarat yang
dikemukan seperti, sudah cukupnya pasukan yang berada di medan tempur, Negara
Islam sedang dalam keadaan aman, dan tidak ada Negara kaum muslim yang sedang
terjajah.
Dan pendapat para Imam dan para ulama pun bermacam-macam
tetang kapan hukum jihad iru menjadi fardhu kifayah. Rata-rata mereka
mengatakan syaratnya adalah kaum muslimin sudah mempunyai DAULAH atau Negara
Islam sendiri. Seperti yang dikatan oleh Ibnu Qudamah mengatakan: “Jihad
dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib
dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut
untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib
dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama
diperlukan.”
Sementara munurut Imam Syafi’I berlainan. Syaratnya memang
sama, kita mesti sudah memilki Negara yang berhukum pada hukum Islam. Lalu beliua
pun mengatakan : “Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang
tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun.” Dengan menjalankan syarat-syarat
tersebut maka jihad pada saat itu jatuh pada hukum fardhu kifayah. Dan jika
syarat itu tidak dilaksanakan maka hukum fardhu kifayahnya gugur.
Pendapat Imam Syafi’i ini diperkuat oleh perkataan Imam
Al-Qurtuby. Menurut beliau : “Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu
musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia
percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk
Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dinullah sehingga mereka masuk
Islam atau menyerahkan jizyah.”
Pendapat yang saling menguatkan diantara para imam ini
membuat kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jihad pada suatu waktu bisa
menjadi fardu kiffaya. Dengan syarat dan ketentuan yang telah diungkapakan oleh
para Imam terkemuka di atas. Seperti sudah mempunyai daulah sendiri, sudah
menegakan hukum Allah, tidak ada negri yang sedang terindas, sudah cukupnya
pasukan di medan pertempuran dan yang terakhir tentunya sudah melakukan
pengiriman pasukan untuk menyebarkan dakwah Islam untuk menyeru mereka agar
tunduk pada hukum Allah.
Jika syarat-syarat di atas sebagaimana yang telah
disebutkan oleh para Imam terkemuka tadi tidak mampu dilaksnakan atau gagal
dijalankan. Maka hukum jihad pun berubah tidak lagi menjadi fardhu kifayah.
Akan tetapi telah jatuh menjadi fardhu ‘ain.